Halaman

Kamis, 01 Maret 2012

AKU DAN PEMBERONTAKAN


Sekarang aku punya pemahaman terhadap buku dan tulisan yang berarti pemberontakan, dimana apa yang ada dalam benakku sekarang tentang pendidikan zaman sekarang adalah sebuah rekayasa yang dibuat untuk meredam pemberontakan. Sistem politik satu arah yang bermain secara dominan dalam system pendidikan yang ada sekarang dan kebanyakan dianut ternyata selalu berusaha menyembunyikan makna  -  makna kebebasan yang bisa berakibat pemberontakan. Dan dalam hal ini Media dan perkembangan teknologi adalah peran utama yang mendukung peredaman kebebasan karena adanya ketakutan mereka terhadap pemberontakan yang dapat menggoyahkan posisi dominan sampai pada hari ini masih terus berusaha memenjarakan arti kebebasan dengan sangat cantik. Sehingga mereka yang berada diposisi dominan itu bisa terus ada sebagai pengontrol dan pengendali masyarakat banyak.
Aku masih ingat ketika masih bergelut dalam dunia sekolah dulu (SD, SMP, SMA) dimana isi kepalaku selalu dijelali penyajian data, teori, rumus, dan hasil  -  hasil dengan konteks menolong yang selalu menuntunku kedalam suatu pemikiran kesuksesan atau keberhasilan manusia dalam sebuah pencapaian materi. Maka aku tak pernah diberi kajian  -  kajian sosial yang dibahas secara mendalam dan sesuai dengan historical asli yang seharusnya bisa membuatku mengerti dengan jelas karakter asli bangsaku dan negaraku, aku juga tak pernah dituntun dengan wawasan tentang tulisan dan buku - buku yang tersebar di pelbagai penjuru dunia (walaupun di sekolah perpustakaan itu ada, namun entah paradigma apa yang membuat saya merasa hampa akan keberadaan perpustakaan sekolah itu), aku hanya diberi begitu banyak  tugas  - tugas sekolah (PR) yang harus diselesaikan karena kalau tidak terkadang ada sangsinya. Namun sayapun sampai sekarang masih mempertanyakan tentang implisit dalam nilai yang telah dihasilkan dari zaman sekolah itu terhadap realitas kehidupan manusia yang tidak hanya berujung kepada suatu nilai tentang materi belaka.
Dalam hal ini yang saya tekankan adalah rasionalitas dan ideologis dalam potensi yang ada pada diri manusia untuk dapat meretaskan diri mereka sendiri sebagai manusia yang ada bukan hanya untuk hidup tapi bagaimana dirinya dengan rasionalitas dan ideologis itu dapat dijadikan landasan untuk memanusiakan manusia lain dalam arti kepedulian akan keadilan dan kesetaraan.
Maka semenjak saat itu aku merasa sebagai subyek yang terkontrol dalam ketidaktahuan terhadap apa yang ada sebenarnya, walaupun terkadang naluriku telah mengeluarkan sinyal  -  sinyal ketidaksetujuan, tapi adadaya pengetahuan sebatas itu dan juga terpenjaranya kebebasan berpengetahuan itu yang telah mengikatku dan membukamku dalam kemunafikan.


Buku dan Pemberontakan
Namun syukur Alhamudlillah dari saat aku mengenal forum diskusi  -  diskusi pencerahan serta mengenal buku yang ternyata eksist diluar lingkup sekolah membuatku merasa telah terbodohi sistem yang kudapat dari sekolah. Bahwa tenaga, pikiran, dan waktu yang kuhabiskan saat itu hanya memberiku sebuah penjara pemikiran yang secara tak lansung tumbuh dan kusirami. Dan saat aku tersadar bahwa mata ini begitu luas pandangannya terhadap realitas yang ada dan akhirnya memberikan sebuah kejelasan bagaimana mereflesikan dan menafsir segala yang terlihat atapun tak terlihat dalam kehidupan ruang dan waktu ini. Dengan ini bahwa buku  - buku diluar buku pelajaran yang diberikan sekolah adalah buku yang sebenarnya telah mengajarkan saya menghasilkan nila sebenarnya pula yang sesungguhnya tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh para pengendali system. Bagi saya buku  - buku ini ada untuk memprotes kurikulum yang telah dipercaya sebagai awal pencerahan pengetahuan, buku - buku ini ada untuk menjelaskan dan memberikan system  -  sistem yang berbeda dalam sebuah pendidikan, buku - buku ini ada dan menawarkan nilai  -  nilai sebenarnya yang  tertutupi. Bahwa buku dalam hal ini akan memberi sumbangsih besar terhadap rasionalitas dan ideologis manusia untuk refleksi sesungguhnya dalam kehidupan.
Oleh karena itu buku adalah sebuah awal pemberontakan (pemberontakan yang saya maksud adalah sebuah aksi atas pemikiran  - pemikiran yang bertentangan terhadap suatu kaum dominan yang mengendalikan aturan  - aturan dalam kebebasan dan keadilan). Dimana pemberontakan sebenarnya adalah suatu praktek atau refleksi seorang manusia dalam menelaah kehidupan yang ada didepan matanya sekarang dan mampu mengantarkan dirinya dan orang  -  orang serta alam yang ada disekitarnyapun untuk menuju suatu kebebasan dan keadilan. Dalam kisah Hugo Chaves (2002) yang melakukan pemberontakan (yang disebut Revolusi) terhadap neoliberalisme juga berdasarkan apa yang dipandangnya terhadap sebuah otoriter yang melakukan penindasan yang canggih yang telah banyak membuat rakyatnya sengsara karena kebohongan - kebohongan otoriter tersebut. Di Indonesiapun, Kemerdekaan yang diusung oleh pemuda - pemuda Indonesia terdahulu menggambarkan adanya sebuah pemberontakan yang tengah terjadi oleh kolonialisme (Yudi Latif 2004 “Negara Paripurna”,dan masih banyak lagi refrensi -  referensi yang bisa didapat dalam buku - buku tentang sejarah Indonesia seperti Api Sejarah,dll). Tidak hanya itu Chairil Anwar, Tan Malaka dan para sastrawan dan seniman - seniman Indonesiapun membahasakan suatu pemberontakan dengalan mereka menuangkan keluh -kesah, ide, kritik, harapan dan doa untuk Bangsa Indonesia kedalam sebuah karya tulis.
Dalam hal ini artinya ada banyak cara untuk melakukan pemberontakan dalam kehidupan yang terdominasi dan terkendali oleh kaum dominan yang hanya ingin mengantarkan diri mereka sendiri kedalam kepuasan pribadi. Di sini para Pahlawan yang telah mendedikasikan hidupnya kedalam sebuah perjuangan untuk kebebasan dan keadilan rakyatnya juga sangat mengerti eksistensi buku dalam sebuah kata perjuangan yang mereka artikan pemberontakan. Maka dalam hal ini sangat jelas bagi mereka (Pahlawan) bahwa bukulah tahapan pertama pemberontakan yang menciptakan kesadaran pemikiran sehat dan ideologis yang dengan tahapan selanjutnya praktek kebebasan dan keadilan itu sendiri.
Namun dari semua itu dihadapan zaman sekarang dimana globalisasi yang semakin canggih sedikit menyingkirkan realitas pemaknaan pemberontakan yang ada dalam diri setiap manusia, dan sekali lagi hal ini menjadi suatu tantangan tersulit yang pernah ada dalam sejarah dunia dimana kecanggihan globalisasi dan kapitalisme yang tidak lagi menjajah dengan kekerasan namun dengan teori -teori pendekatan yang tersamarkan dengan baik oleh modernitas kedalam pemikiran manusia.
Berarti peran manusia sekarang dalam membahasakan dirinya sebagai pemberontak semakin dipersulit oleh adanya modernitas dari perkawinan globalilasi dan kapitalisme secara gampang diterima oleh kebanyakan masyarakat dunia sekarang terutama Indonesia. Namun tidak berarti bila disini ada kata ketidakmungkinan suatu perubahan untuk kembali mengenali bahasa pemberontakan, yaitu dengan jalan pendekatan pemikiran kritis sebagai landasan rasionalitas dalam memerangi penindasan itu dimana sekali lagi buku adalah penyedia pendidikan kritis tersebut, dan juga sekali lagi bukan buku pelajaran dari sekolah yang akan mengajarkan kebebasan dalam sebuah pemberontakan namun buku - buku yang akan selalu hadir di luar lingkup sistem pelajaran sekolah dan semacamnya.


Kritis dan Pemberontakan
Dalam pembahasan ini kita di harapkan untuk sedikit kembali menengok kisah - kisah pemberontakan yang pernah terjadi dimasa sebelumnya, dimana ternyata setiap pemberontakan yang pernah terjadi dimasa lalu itu berasal dari pemikiran -pemikiran kritis beberapa tokoh yang menghasilkan ideologis yang dibahasakan dalam kritik - kritik lisan atau penulisan dan mereka jelaskan dalam teori – teori pemikiran terhadap realitas kehidupan yang pada masa itu mereka hadapi. Seperti seorang tokoh ternama Karl Marx yang menghasilkan teori - teori pemikiran kritis terhadap kapitalisme liberal yang menyerap nilai - nila kemanusiaan dan menghasilkan kaum penindas dan tertindas, dan teori - teori kritiknya tentang kapitalisme liberal itu telah memunculkan para penganut pemberontakan ala Marx (biasa kita sebut Marxisme), dimana para marxisme yang sampai sekarang masih terus berjuang memprotes keberadaan kapitalisme liberal yang hanya menguntungkan pihak bermodal sedangkan menindas kaum tidak bermodal. Adapun seorang tokoh Paulo Freire yang mewacanakan kritiknya tidak hanya terhadap kaum tertindas yang bisa bermacam -macam, tertindas oleh rezim otoriter, struktur sosial yang tidak adil dan diskriminatif, warna kulit, gender, ras, dan lain sebagainya. Di sini Paulo Frieire adalah pemberontak yang mengatasnamakan humanisme  sebagai kecintaan tertingginya yang juga mempunyai begitu banyak pengikut (humanisme) yang memakai teori -teorinya sebagai landasan perjuangan kemanusiaan dalam kehidupan. Disini kedua tokoh membahasakan sebuah pemberontakan terhadap kezaliman para dominan yang dengan seenaknya hatinya telah menciptakan ruang lingkup yang terbatas melalui aturan - aturan yang sepihak saja, dimana dalam hal ini pemberontakan itu semestinya ada karena adanya suatu pendidikan kritis ( Mazhab Pendidikan Kritis/2001, Dr.M.Agus Sunarnyo).
Maksud diatas bila lebih dijelaskan lagi bahwa pendidikan kritis sangat berpengaruh terhadap kelanjutan kehidupan manusia yang adil dan bernilai luhur. Sehingga teori - teori karena landasan pemikiran kritis adalah dasar penopang pemberontakan atau perjuangan terhadap ketidakbebasan manusia untuk mengungkap jatidiri sebenarnya dan dapat merefleksikannya dalam realitas yang tidak hanya bertumpu kepada nila -nila materi belaka.


Zaman modern (sekarang) dan Pemberontakan
Hal utama dalam pembahasan ini sebenarnya kita disuruh melihat dan mengerti serta mampu mempertanyakan dan menjawab fenomena apa yang terjadi pada zaman modern sekarang. Dan salah satu hal yang mesti di lihat itu adalah fenomena kata pemberontakan dalam kebanyakan orang sekarang memandang pemberontakan sebagai suatu aktifitas negatif yang berbuntut pada sebuah kekerasan. Nah pandangan terhadap fenomena inilah menurut saya adalah suatu kesalahan pemaknaan kata dan tentu saja peran dominan dengan para koleganya yang telah melencengkan persespi pemberontakan ini.
Saya sebut demikian karena ketika kita kembali kesejarah Nusantara sebelum terbentuknya Indonesia merdeka dimana para pahlawan - pahlawan nasional kita saat itu terus - menerus meneriakkan kata perjuangan dalam tubuh mereka, bukankah waktu mereka meneriakkan kata perjuangan waktu itu adalah berarti suatu pemberontakan terhadap ketetindasan oleh kolonialisasi?? Dan sekarang kenapa kata pemberontakan itu selalu dijauhkan dari asal kata perjuangan itu sendiri mestinya harus kita pertanyakan. Artinya ada sebuah sistem penjajahan yang sudah lebih canggih yaitu melalui diskursus - diskursus modern sekarang yang tersedia dibanyak media tanpa adanya penyaringan kata yang implisit, sebagaimana dijelaskan oleh Norman Fairclough tentang bahasa sebagai alat berinteraksi yang digunakan semena - mena oleh subyeknya tergantung politik dan kepentingan subyek itu sendiri (Language and Power, 2003). Penjelasan tersebut seakan menjawab fenomena yang tengah terjadi sekarang dimana penjajahan yang sebenarnya masih berkelanjutan yaitu penjajahan fisik yang telah bermetamorfosis menjadi penjajahan yang lebih intelektual yang sangat sulit masyarakat sekarang bila tidak adanya pengetahuan kritis yang ditanam sejak dini dalam generasi calon pemuda - pemuda Indonesia sekarang untuk tetap mampu mempertahankan kemerdekaan yang penuh pengorbanan oleh pemuda - pemuda Indonesia yang lalu.
Walau itu berarti sekali lagi kata pemberontakan harus kita gunakan dalam kehidupan bangsa Indonesia untuk mampu menyikapi fenomena -fenomena yang kecil namun berarti besar terhadap pengaruh – pengaruh yang bertujuan buruk untuk masuk dan menggerogoti Bangsa kita sedikit demi sedikit dengan topeng yang kadang selalu disangka suatu kewajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar