Halaman

Rabu, 29 Februari 2012

Gaya Hidup Obyektif


Sebuah kisah tentang seorang anak Sekolah Menengah Atas yang meminta ibunya membelikan dia sebuah motor baru (walaupun motor lamanya masih bagus dan masih bisa dipakai) namun permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena faktor finansial yang tidak mencukupi, akhirnya anak itu kabur/minggat dari rumahnya sampai ibunya bisa memenuhi permintaannya. Dan hasilnya ibu yang selalu berusaha memenuhi permintaan anaknya itu direfleksikan dalam sebuah tindakan seperti mencuri atau merampok, menjadi penjual barang-barang haram, serta pelacurpun jadi hanya untuk membahagiakan anaknya yang membuat siapapun melihatnya semestinya harus miris dan mau untuk memikirkan sebab dan akibatnya. Bukankah ini suatu kekuatan kasih sayang yang luar biasa dari orang tua?? Dalam beberapa pertanyaan, ada pertanyaan mendasar dari kisah ini, yaitu kenapa sebenarnya ini bisa terjadi??
Nah untuk menjawab itu mari kita telisik dasar permasalah tersebut, yaitu dimana seorang anak yang secara tidak lansung  telah memaksa orang tuanya berbuat hal-hal yang tidak diinginkan dengan mengutarakan keinginan / kemauannya,mungkin karena masalah pergaulan yang semakin dianggap maju apabila adanya suatu kemajuan tekhnologi juga. Dimana pergaulan yang membuat seorang anak merasa mengharuskan kesetaraan dirinya dan teman-teman dalam pergaulannya telah membuat anak itu lupa atau bahkan tidak mengerti akan arti dari want or need (mau atau butuh). Dimana pergaulan yang dipandang hanya dengan menerima tanpa adanya pengkritisasian terhadap pergaulan itu sendiri dan telah membuat anak itu memandang suatu objek sebagai sebuah keharusan yang mesti terpenuhi. Dalam hal ini rasionalitas teknologis telah menjadi media yang efektik untuk melalukan dominasi secara lebih canggih, yaitu menyangkut hubungan antara subyek dan obyek. Manusia pada awalnya tampil sebagai subyek yang menciptakan dan mengontrol teknologi (obyek). Namun ketika obyek (teknologi) telah berkembang sedemikian rupa posisinya terbalik, obyek(teknologi)lah yang justeru mengontrol dan menguasai subyek (kita contohkan sebagai pelajar yang dikisahkan di atas) (Dr.M.Agus Sunaryo 2001 “Mazhab Pendidikan Kritis”). Disini kita bisa menguraikan dimana sebuah pergaulan yang beranak menjadi sebuah pemikiran gaya hidup obyektif yang dikarenakan tidak adanya kemampuan seorang anak mengrkritisi  sebuah fenomena besar yang tengah terjadi sekarang telah membalikkan posisi pemaknaan want or need dalam pemikiran kehidupan modern sekarang. Bukankah fenomena seperti contoh anak sekolah di atas telah banyak diperbincangkan dan muncul dalam berbagai media tentang gaya hidup obyektif ditatanan sosial manapun??
Sekali lagi untuk pemahaman yang menyangkut gaya hidup perlu ada landasan pendidikan tentang kritisasi, apalagi pemahaman yang berkaitan tentang generasi muda, yang seharusnya dimasa mendatang merekalah sebagai subyek-subyek yang dapat mengendalikan dan menjadi penopang untuk menjayakan keluarga, bangsa dan negara mereka bukan malah jadi obyek-obyek oleh keadaan-keadaan yang sebenarnya tidak diperlukan dan dibutuhkan. Untuk itulah sekolah yang memiliki guru-guru yang mampu meneladani siswa-siswanya dalam hal belajar yang sebenarnya baik itu tentang pergaulan dan moralitas gaya hidup yang bisa menghasilkan nilai sebenarnya juga dalam kehidupan, bukan hanya membiarkan mereka para anak yang belajar tenggelam oleh paradigma yang salah.

Selasa, 21 Februari 2012

Pancasila Tenggelam


                
               Buku tentang Atlantis yang ditulis oleh Prof. Arysio Santos yang dikatakan tenggelam oleh bencana semesta yang akhirnya hanya menjadi sebuah penjelasan sejarah peradaban yang tak berarti karena existensinya sekarang seakan-akan tak berpengaruh untuk bisa merubah zaman yang terbodohi ini. Hal ini seakan-akan menggambarkan Pancasila yang dalam realitas sekarang juga dalam kondisi yang sama, di mana ruh-ruh para Pejuang Nasional dan nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu seakan hanya menjadi konteks hapalan yang tak berarti sejak masa persekolahan (SD ,SMP dan SMA) yang terus mereka lafalkan.
              Dalam kemasyarakatan Indonesia sekarang Pancasila hanya berupa pengajian rutin namun tak mengandung makna yang tersirat bahkan dalam prakteknya. Dewasa ini begitu banyak bangsa Indonesia yang pernah mengenyam pengalaman bangku sekolah namun tak mempunyai dasar pemahaman terhadap pemaknaan Pancasila secara mendalam dan bagaimana seharusnya merefleksikan Pancasila itu sendiri.
              Interpretasi terhadap implisit dari Pancasila tak ubahnya hanya sebuah khayalan para Pahlawan Nasional belaka yang telah mendahului generasi-generasi berikut mereka. Sungguh sangat disayangkan bila perjuangan para Pahlawan itu hanya menjadi sebuah kotoran yang harus segera dibersihkan dan akhirnya bangsa indnesia sekarang tanpa sadar telah menelanjangi diri mereka sendiri karena godaan globalitas yang begitu menghanyutkan dan sekali lagi Pancasila seakan hanya menjadi batu sandungan yang tak pernah diperhatikan keberadaannya. Akibatnya kebutaan terhadap jatidiri bangsa sendiri menjadi penyakit akut yang bila tak segera dioperasi akan berdampak hal yang sangat buruk yang tentu tasa tak seorangpun menginginkan itu (bangsa Indonesia).
              Suguhan Yudi Latif dalam bukunya yang berjudul Negara Paripurna tentu saja mampu membuka cakrawala bagi setiap pembaca dengan menghadirkan kemolekan-kemolekan sosok sejarah Bangsa Indonesia yang sesungguhnya (Paripurna sendiri itu berarti puncak yang bila dimaknai Negara Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berada diatas negara-negara lain di seluruh dunia). Penyuguhan data sejarah, fakta dan realitas menjadi koheren tentang pembahasan budaya dan perjuangan Pejuang Nasional yang historikal (perjuangan yang tak hanya mengorbankan kucuran keringat namun juga tetesan darah serta pengorbanan nyawa) yang akhirnya menghasilkan sebuah Pancasila dan menjadi harta yang sangat berharga bagi Bangsa Indonesia selanjutnya.
Dalam buku itu (Negara Paripurna) menyiratkan sebuah simbol bangsa Indonesia dan dasar-dasar berbangsa yang Nasionalis dengan satu tema tentang penafsiran Pancasila yang isinya sarat dengan Spiritualitas, Nasionalistis dan Marxistis yang akhirnya teracik menjadi 5 butir isi Pancasila. Tentu saja Pancasila tak lepas dari jatidiri sebenarnya Bangsa Indonesia yang diteliti melalu perjalanan masa lalu Indonesia dengan segala budaya-budaya yang ada didalamnya.
Soekarno yang berpidato menyebutkan dasar-dasar Pancasila saat itu mendapatkan momentumnya yang sangat bersejarah bagi Bangsa Indonesia, dengan segala jiwa Nasionalisme yang dia miliki Soekarno akhirnya mempersembahkan karya agung pada dunia yang belum pernah sekalipun bangsa lain capai, yaitu Pancasila. Pancasila yang dalam makna itu sendiri memiliki 5 butir yang mempunyai arti berbeda-beda namun tetap mengutamakan keadilan berkebangsaan dan tak hanya berpatokan pada Bangsa Indonesia saja namun seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia agar mampu bersatu memerangi Imperialisme yang telah banyak mengakitbatkan bangsa-bangsa lain sengsara. Sejarah Soekarno yang mempelopori dasar berkebangsaan seluruh dunia ini harusnya dapat menjadi tambang emas buat bangsa Indonesia dan sebenarnya Soekarno yang telah mempercayakan kelanjutan perjuangan itu kepada seluruh Bangsa Indonesia sebagai bentuk perlawanan terhadap imperealisme dalah sebuah pesan yang tersirat agar Bangsa Indonesia bisa menjadi Bangsa pencerah bagi bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.
Namun relitas sekarang jauh bertolak belakang akan pesan-pesan yang tersirat itu, kehilangan jatidiri seakan menjadi suatu permasalahan yang patut didiskusikan oleh bangsa Indonesia saat ini. Semangat meraih kemerdekaan yang berkecamuk dalam diri para Pahlawan Nasional pada zaman ini tak mampu tersalurkan pada Bangsa Indonesia sekarang dan seakan hanya menjadi sebuah tangisan seorang ibu yang kehilangan anak-anaknya, yang dimana anak-anaknya belum mampu mendengar tangisan orang tuanya.
Akibat dari tabrakan globalisasi ekhirnya kembali menghasilkan penjajahan namun tentu saja penjajahan ini jauh lebih indah dari penjajahan pada masa kolonialisasi, bukan senjata api yang menjadi senjata penjajahan sekarang melainkan kaum-kaum intelektual yang sekaranglah yang menjadi senjata penjajah saat ini. Tentu saja sebenarnya media bisa  berpengaruh besar bagi Bangsa Indonesia untuk mampu menjadikan Bangsa Indonesia menjadi bangsa yang slalu diimpikan oleh para Pahlawan Indonesia namun sebaliknya media di Indonesia malah menjadi senjata kaum intelektual yang dimiliki para penjajah yang telah menghancurkan Bangsa Indonesia sekarang ini (walaupun ada beberapa masyarakat Indonesia yang masih dilandasi Pancasila namun mereka tidaklah sebanding dari mayoritas Bangsa Indonesia buta Pancasila, apa lagi mereka yang buta akan Pancasila dan prakteknya berada di puncak-puncak pemimpin Negara Indonesia. Bisa diibaratkan seorang Nabi Musa AS yang tak mampu berperang melawan Firaun yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia).
Sungguh ironis Negara Indonesia yang tersiksa ini oleh kebodohan anak bangsanya sendiri. Bukankah bila kita mau mencari arti sebenarnya Pancasila dan memaknai pesan-pesan yang terkandung dalamnya serta menjadikan Pancasila sebagai dasar interpretasi, perjuangan dan nasionalisme dalam memerdekakan kembali bangsa ini dari kejamnya Imperialisme / Globalisasi seharusnya akan menjadi senjata dan tembok yang kokoh untuk melawan imperialisme itu sendiri??
Namun saya yakin bila Pancasila sebagai pedoman berbangsa dan bernegara mampu direfleksikan dalam hati, pikiran, jiwa dan tubuh (tidak hanya dihapalkan namun ada praktek yang benar) tentu saja Indonesia mampu menjadi bangsa Indonesia sejati yang punya jatidiri yang kuat dan tahan terhadap gempuran perkembangan zaman yang menggelobal kearah negatif bagi Bangsa Indonesia tanpa mampu menenggelamkan Pancasila selama pancasila itu tetap direfleksikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.