Sebuah kisah
tentang seorang anak Sekolah Menengah Atas yang meminta ibunya membelikan dia
sebuah motor baru (walaupun motor lamanya masih bagus dan masih bisa dipakai)
namun permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena faktor finansial yang tidak
mencukupi, akhirnya anak itu kabur/minggat dari rumahnya sampai ibunya bisa
memenuhi permintaannya. Dan hasilnya ibu yang selalu berusaha memenuhi
permintaan anaknya itu direfleksikan dalam sebuah tindakan seperti mencuri atau
merampok, menjadi penjual barang-barang haram, serta pelacurpun jadi hanya
untuk membahagiakan anaknya yang membuat siapapun melihatnya semestinya harus
miris dan mau untuk memikirkan sebab dan akibatnya. Bukankah ini suatu kekuatan
kasih sayang yang luar biasa dari orang tua?? Dalam beberapa pertanyaan, ada
pertanyaan mendasar dari kisah ini, yaitu kenapa sebenarnya ini bisa terjadi??
Nah untuk
menjawab itu mari kita telisik dasar permasalah tersebut, yaitu dimana seorang
anak yang secara tidak lansung telah memaksa
orang tuanya berbuat hal-hal yang tidak diinginkan dengan mengutarakan
keinginan / kemauannya,mungkin karena masalah pergaulan yang semakin dianggap
maju apabila adanya suatu kemajuan tekhnologi juga. Dimana pergaulan yang
membuat seorang anak merasa mengharuskan kesetaraan dirinya dan teman-teman
dalam pergaulannya telah membuat anak itu lupa atau bahkan tidak mengerti akan
arti dari want or need (mau atau butuh). Dimana pergaulan yang dipandang hanya
dengan menerima tanpa adanya pengkritisasian terhadap pergaulan itu sendiri dan
telah membuat anak itu memandang suatu objek sebagai sebuah keharusan yang
mesti terpenuhi. Dalam hal ini rasionalitas teknologis telah menjadi media yang
efektik untuk melalukan dominasi secara lebih canggih, yaitu menyangkut
hubungan antara subyek dan obyek. Manusia pada awalnya tampil sebagai subyek
yang menciptakan dan mengontrol teknologi (obyek). Namun ketika obyek
(teknologi) telah berkembang sedemikian rupa posisinya terbalik, obyek(teknologi)lah
yang justeru mengontrol dan menguasai subyek (kita contohkan sebagai pelajar
yang dikisahkan di atas) (Dr.M.Agus Sunaryo 2001 “Mazhab Pendidikan Kritis”).
Disini kita bisa menguraikan dimana sebuah pergaulan yang beranak menjadi
sebuah pemikiran gaya hidup obyektif yang dikarenakan tidak adanya kemampuan
seorang anak mengrkritisi sebuah
fenomena besar yang tengah terjadi sekarang telah membalikkan posisi pemaknaan
want or need dalam pemikiran kehidupan modern sekarang. Bukankah fenomena seperti
contoh anak sekolah di atas telah banyak diperbincangkan dan muncul dalam
berbagai media tentang gaya hidup obyektif ditatanan sosial manapun??
Sekali lagi
untuk pemahaman yang menyangkut gaya hidup perlu ada landasan pendidikan
tentang kritisasi, apalagi pemahaman yang berkaitan tentang generasi muda, yang
seharusnya dimasa mendatang merekalah sebagai subyek-subyek yang dapat
mengendalikan dan menjadi penopang untuk menjayakan keluarga, bangsa dan negara
mereka bukan malah jadi obyek-obyek oleh keadaan-keadaan yang sebenarnya tidak
diperlukan dan dibutuhkan. Untuk itulah sekolah yang memiliki guru-guru yang
mampu meneladani siswa-siswanya dalam hal belajar yang sebenarnya baik itu
tentang pergaulan dan moralitas gaya hidup yang bisa menghasilkan nilai sebenarnya
juga dalam kehidupan, bukan hanya membiarkan mereka para anak yang belajar
tenggelam oleh paradigma yang salah.