Sekarang
aku punya pemahaman terhadap buku dan tulisan yang berarti pemberontakan, dimana apa
yang ada dalam benakku sekarang tentang pendidikan zaman sekarang adalah sebuah
rekayasa yang dibuat untuk meredam pemberontakan. Sistem politik satu arah yang
bermain secara dominan dalam system pendidikan yang ada sekarang dan kebanyakan
dianut ternyata selalu berusaha menyembunyikan makna - makna
kebebasan yang bisa berakibat pemberontakan. Dan dalam hal ini Media dan
perkembangan teknologi adalah peran utama yang mendukung peredaman kebebasan
karena adanya ketakutan mereka terhadap pemberontakan yang dapat menggoyahkan
posisi dominan sampai pada hari ini masih terus berusaha memenjarakan arti
kebebasan dengan sangat cantik. Sehingga mereka yang berada diposisi dominan
itu bisa terus ada sebagai pengontrol dan pengendali masyarakat banyak.
Aku
masih ingat ketika masih bergelut dalam dunia sekolah dulu (SD, SMP, SMA) dimana isi kepalaku
selalu dijelali penyajian data, teori, rumus, dan hasil - hasil
dengan konteks menolong yang selalu menuntunku kedalam suatu pemikiran
kesuksesan atau keberhasilan manusia dalam sebuah pencapaian materi. Maka aku
tak pernah diberi kajian - kajian sosial yang dibahas secara mendalam dan
sesuai dengan historical asli yang seharusnya bisa membuatku mengerti dengan
jelas karakter asli bangsaku dan negaraku, aku juga tak pernah dituntun dengan
wawasan tentang tulisan dan buku - buku yang tersebar di pelbagai penjuru dunia
(walaupun di sekolah perpustakaan itu ada, namun entah paradigma apa yang
membuat saya merasa hampa akan keberadaan perpustakaan sekolah itu), aku hanya
diberi begitu banyak tugas - tugas sekolah (PR) yang harus diselesaikan
karena kalau tidak terkadang ada sangsinya. Namun sayapun sampai sekarang masih
mempertanyakan tentang implisit dalam nilai yang telah dihasilkan dari zaman
sekolah itu terhadap realitas kehidupan manusia yang tidak hanya berujung
kepada suatu nilai tentang materi belaka.
Dalam
hal ini yang saya tekankan adalah rasionalitas dan ideologis dalam potensi yang
ada pada diri manusia untuk dapat meretaskan diri mereka sendiri sebagai
manusia yang ada bukan hanya untuk hidup tapi bagaimana dirinya dengan
rasionalitas dan ideologis itu dapat dijadikan landasan untuk memanusiakan
manusia lain dalam arti kepedulian akan keadilan dan kesetaraan.
Maka
semenjak saat itu aku merasa sebagai subyek yang terkontrol dalam ketidaktahuan
terhadap apa yang ada sebenarnya, walaupun terkadang naluriku telah
mengeluarkan sinyal - sinyal ketidaksetujuan, tapi adadaya
pengetahuan sebatas itu dan juga terpenjaranya kebebasan berpengetahuan itu
yang telah mengikatku dan membukamku dalam kemunafikan.
Buku dan Pemberontakan
Namun
syukur
Alhamudlillah dari saat aku mengenal forum diskusi - diskusi pencerahan serta mengenal buku yang ternyata eksist
diluar lingkup sekolah membuatku merasa telah terbodohi sistem yang kudapat
dari sekolah. Bahwa tenaga, pikiran, dan waktu yang kuhabiskan saat itu hanya
memberiku sebuah penjara pemikiran yang secara tak lansung tumbuh dan kusirami.
Dan saat aku tersadar bahwa mata ini begitu luas pandangannya terhadap realitas
yang ada dan akhirnya memberikan sebuah kejelasan bagaimana mereflesikan dan
menafsir segala yang terlihat atapun tak terlihat dalam kehidupan ruang dan
waktu ini. Dengan ini bahwa buku - buku
diluar buku pelajaran yang diberikan sekolah adalah buku yang sebenarnya telah
mengajarkan saya menghasilkan nila sebenarnya pula yang sesungguhnya
tersembunyi atau sengaja disembunyikan oleh para pengendali system. Bagi saya
buku - buku ini ada untuk memprotes
kurikulum yang telah dipercaya sebagai awal pencerahan pengetahuan, buku - buku
ini ada untuk menjelaskan dan memberikan system - sistem yang berbeda dalam sebuah pendidikan,
buku - buku ini ada dan menawarkan nilai - nilai
sebenarnya yang tertutupi. Bahwa buku
dalam hal ini akan memberi sumbangsih besar terhadap rasionalitas dan ideologis
manusia untuk refleksi sesungguhnya dalam kehidupan.
Oleh
karena itu buku adalah sebuah awal pemberontakan (pemberontakan yang saya
maksud adalah sebuah aksi atas pemikiran - pemikiran yang bertentangan terhadap suatu
kaum dominan yang mengendalikan aturan -
aturan dalam kebebasan dan keadilan). Dimana pemberontakan sebenarnya adalah
suatu praktek atau refleksi seorang manusia dalam menelaah kehidupan yang ada
didepan matanya sekarang dan mampu mengantarkan dirinya dan orang - orang
serta alam yang ada disekitarnyapun untuk menuju suatu kebebasan dan keadilan. Dalam
kisah Hugo Chaves
(2002) yang melakukan pemberontakan (yang disebut Revolusi) terhadap
neoliberalisme juga berdasarkan apa yang dipandangnya terhadap sebuah otoriter
yang melakukan penindasan yang canggih yang telah banyak membuat rakyatnya
sengsara karena kebohongan - kebohongan otoriter tersebut. Di Indonesiapun,
Kemerdekaan yang diusung oleh pemuda - pemuda Indonesia terdahulu menggambarkan
adanya sebuah pemberontakan yang tengah terjadi oleh kolonialisme (Yudi Latif 2004 “Negara Paripurna”,dan
masih banyak lagi refrensi - referensi
yang bisa didapat dalam buku - buku tentang sejarah Indonesia seperti Api Sejarah,dll).
Tidak hanya itu Chairil
Anwar, Tan
Malaka dan para sastrawan
dan seniman -
seniman Indonesiapun membahasakan suatu pemberontakan dengalan mereka
menuangkan keluh -kesah, ide, kritik, harapan dan doa untuk Bangsa Indonesia
kedalam sebuah karya tulis.
Dalam
hal ini artinya ada banyak cara untuk melakukan pemberontakan dalam kehidupan
yang terdominasi dan terkendali oleh kaum dominan yang hanya ingin mengantarkan
diri mereka sendiri kedalam kepuasan pribadi. Di sini para Pahlawan yang telah
mendedikasikan hidupnya kedalam sebuah perjuangan untuk kebebasan dan keadilan
rakyatnya juga sangat mengerti eksistensi buku dalam sebuah kata perjuangan
yang mereka artikan pemberontakan. Maka dalam hal ini sangat jelas bagi mereka
(Pahlawan) bahwa bukulah tahapan pertama pemberontakan yang menciptakan
kesadaran pemikiran sehat dan ideologis yang dengan tahapan selanjutnya praktek
kebebasan dan keadilan itu sendiri.
Namun
dari semua itu dihadapan zaman sekarang dimana globalisasi yang semakin canggih
sedikit menyingkirkan realitas pemaknaan pemberontakan yang ada dalam diri
setiap manusia, dan sekali lagi hal ini menjadi suatu tantangan tersulit yang
pernah ada dalam sejarah dunia dimana kecanggihan globalisasi dan kapitalisme
yang tidak lagi menjajah dengan kekerasan namun dengan teori -teori pendekatan
yang tersamarkan dengan baik oleh modernitas kedalam pemikiran manusia.
Berarti
peran manusia sekarang dalam membahasakan dirinya sebagai pemberontak semakin
dipersulit oleh adanya modernitas dari perkawinan globalilasi dan kapitalisme
secara gampang diterima oleh kebanyakan masyarakat dunia sekarang terutama
Indonesia. Namun tidak berarti bila disini ada kata ketidakmungkinan suatu
perubahan untuk kembali mengenali bahasa pemberontakan, yaitu dengan jalan
pendekatan pemikiran kritis sebagai landasan rasionalitas dalam memerangi
penindasan itu dimana sekali lagi buku adalah penyedia pendidikan kritis
tersebut, dan juga sekali lagi bukan buku pelajaran dari sekolah yang akan
mengajarkan kebebasan dalam sebuah pemberontakan namun buku - buku yang akan
selalu hadir di luar lingkup sistem pelajaran sekolah dan semacamnya.
Kritis dan
Pemberontakan
Dalam
pembahasan ini kita di harapkan untuk sedikit kembali menengok kisah - kisah
pemberontakan yang pernah terjadi dimasa sebelumnya, dimana ternyata setiap
pemberontakan yang pernah terjadi dimasa lalu itu berasal dari pemikiran -pemikiran
kritis beberapa tokoh yang menghasilkan ideologis yang dibahasakan dalam kritik
- kritik lisan atau penulisan dan mereka jelaskan dalam teori – teori pemikiran
terhadap realitas kehidupan yang pada masa itu mereka hadapi. Seperti seorang
tokoh ternama Karl
Marx yang menghasilkan teori - teori pemikiran kritis terhadap
kapitalisme liberal yang menyerap nilai - nila kemanusiaan dan menghasilkan
kaum penindas dan tertindas, dan teori - teori kritiknya tentang kapitalisme
liberal itu telah memunculkan para penganut pemberontakan ala Marx (biasa kita
sebut Marxisme),
dimana para marxisme yang sampai sekarang masih terus berjuang memprotes
keberadaan kapitalisme liberal yang hanya menguntungkan pihak bermodal
sedangkan menindas kaum tidak bermodal. Adapun seorang tokoh Paulo Freire yang
mewacanakan kritiknya tidak hanya terhadap kaum tertindas yang bisa bermacam -macam,
tertindas oleh rezim otoriter, struktur sosial yang tidak adil dan
diskriminatif, warna kulit, gender, ras, dan lain sebagainya. Di sini Paulo Frieire
adalah pemberontak yang mengatasnamakan humanisme
sebagai kecintaan tertingginya yang juga
mempunyai begitu banyak pengikut (humanisme) yang memakai teori -teorinya
sebagai landasan perjuangan kemanusiaan dalam kehidupan. Disini kedua tokoh
membahasakan sebuah pemberontakan terhadap kezaliman para dominan yang dengan
seenaknya hatinya telah menciptakan ruang lingkup yang terbatas melalui aturan -
aturan yang sepihak saja, dimana dalam hal ini pemberontakan itu semestinya ada
karena adanya suatu pendidikan kritis ( Mazhab
Pendidikan Kritis/2001, Dr.M.Agus
Sunarnyo).
Maksud
diatas bila lebih dijelaskan lagi bahwa pendidikan kritis sangat berpengaruh
terhadap kelanjutan kehidupan manusia yang adil dan bernilai luhur. Sehingga
teori - teori karena landasan pemikiran kritis adalah dasar penopang
pemberontakan atau perjuangan terhadap ketidakbebasan manusia untuk mengungkap
jatidiri sebenarnya dan dapat merefleksikannya dalam realitas yang tidak hanya
bertumpu kepada nila -nila materi belaka.
Zaman modern
(sekarang) dan Pemberontakan
Hal
utama dalam pembahasan ini sebenarnya kita disuruh melihat dan mengerti serta
mampu mempertanyakan dan menjawab fenomena apa yang terjadi pada zaman modern
sekarang. Dan salah satu hal yang mesti di lihat itu adalah fenomena kata
pemberontakan dalam kebanyakan orang sekarang memandang pemberontakan sebagai
suatu aktifitas negatif yang berbuntut pada sebuah kekerasan. Nah pandangan
terhadap fenomena inilah menurut saya adalah suatu kesalahan pemaknaan kata dan
tentu saja peran dominan dengan para koleganya yang telah melencengkan persespi
pemberontakan ini.
Saya
sebut demikian karena ketika kita kembali kesejarah Nusantara sebelum
terbentuknya Indonesia merdeka dimana para pahlawan - pahlawan nasional kita
saat itu terus - menerus meneriakkan kata perjuangan dalam tubuh mereka,
bukankah waktu mereka meneriakkan kata perjuangan waktu itu adalah berarti
suatu pemberontakan terhadap ketetindasan oleh kolonialisasi?? Dan sekarang
kenapa kata pemberontakan itu selalu dijauhkan dari asal kata perjuangan itu
sendiri mestinya harus kita pertanyakan. Artinya ada sebuah sistem penjajahan
yang sudah lebih canggih yaitu melalui diskursus - diskursus modern sekarang
yang tersedia dibanyak media tanpa adanya penyaringan kata yang implisit,
sebagaimana dijelaskan oleh Norman
Fairclough tentang bahasa sebagai alat berinteraksi yang digunakan
semena - mena oleh subyeknya tergantung politik dan kepentingan subyek itu
sendiri (Language and
Power, 2003). Penjelasan tersebut seakan menjawab fenomena
yang tengah terjadi sekarang dimana penjajahan yang sebenarnya masih
berkelanjutan yaitu penjajahan fisik yang telah bermetamorfosis menjadi
penjajahan yang lebih intelektual yang sangat sulit masyarakat sekarang bila
tidak adanya pengetahuan kritis yang ditanam sejak dini dalam generasi calon pemuda
- pemuda Indonesia sekarang untuk tetap mampu mempertahankan
kemerdekaan yang penuh pengorbanan oleh pemuda - pemuda Indonesia yang lalu.
Walau
itu berarti sekali lagi kata pemberontakan harus kita gunakan dalam kehidupan
bangsa Indonesia untuk mampu menyikapi fenomena -fenomena yang kecil namun
berarti besar terhadap pengaruh – pengaruh yang bertujuan buruk untuk masuk dan
menggerogoti Bangsa kita sedikit demi sedikit dengan topeng yang kadang selalu
disangka suatu kewajaran.